Jumat, 20 Maret 2009

Sejarah Vincent Van Gogh

Vincent Willem van Gogh (ucapan Belanda: [vɪnˈsɛnt vɑnˈxɔx] (30 Maret 185329 Juli 1890) adalah pelukis pasca-impresionis Belanda. Lukisan-lukisan dan gambar-gambarnya termasuk karya seni yang terbaik, paling terkenal, dan paling mahal di dunia. Van Gogh dianggap sebagai salah satu pelukis terbesar dalam sejarah seni Eropa.
Pada masa mudanya Van Gogh bekerja pada sebuah perusahaan penjual karya seni, dan setelah beberapa waktu bekerja sebagai guru, ia melayani sebagai misionaris yang bekerja di wilayah
pertambangan

yang sangat miskin. Ia baru menjadi seniman pada tahun 1880. Mulanya karya-karyanya menggunakan warna-warna yang suram. Baru ketika di Paris ia berjumpa dengan impresionisme dan neo-impresionisme yang warna-warnanya yang lebih cerah dan gaya lukisannya dikembangkannya menjadi sebuah gaya yang unik dan mudah dikenali. Gaya lukisannya ini mencapai tingkat perkembangannya yang penuh ketika ia tinggal di Arles, Perancis.

Awalnya mengikuti tipikal pelukis di zamannya dengan gaya impresionisme. Namun ketidakpuasan terhadap pengekangan ekspresi seni oleh pakem impresionisme membuat ia beralih pada gaya ekspresionisme.

Vincent Van gogh didiagnosa menderita epilepsi yang cukup parah. Diagnosa ini dibuat oleh 2 orang dokter berbeda yang merawatnya. Van Gogh juga pernah memotong telinganya sendiri.

Pada akhir hidupnya, ia merasa dirinya menjadi gila dan akhirnya menghabiskan sisa hidup di R.S. Jiwa Saint Paul-de-Mausole di Saint-Rémy-de-Provence, Perancis. Di R.S. Jiwa Saint Paul-de-Mausole, dia tetap melukis.

Van Gogh dan Alam

Riwayat pelukis kelahiran Belanda ini sudah sangat dikenal, tentang bagaimana ia mengiris telinganya sendiri untuk dipersembahkan kepada seorang pelacur, dan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, sehingga tidak perlu diulang secara rinci, kecuali yang berhubungan dengan dua tempat ini: bahwa di Arles, sejak 1888, jauh dari keriuhan metropolis Paris, ia menemukan energi besar untuk terus-menerus melukis, sampai tak kurang sekitar 300 lukisan dalam waktu kurang dari dua tahun. Sedangkan Auvers adalah tempat terakhir ia bermukim, bunuh diri, dan dikuburkan.

Seperti diketahui, di Paris, bersama para seniman yang sudah terkenal, Van Gogh tenggelam dalam kehidupan malam, dan menjadi peminum berat, sehingga kesehatannya pun terganggu. Memang benar bahwa di Paris, tempat karya seni dihargai dan seniman dihormati, Van Gogh yang gagal menjadi pendeta di Belgia menemukan oase bagi gairah hidupnya, yakni berada di tengah kancah seni modern, dalam hal ini Impressionisme, secara langsung. Ia bergaul dengan para eksponen aliran itu: Toulouse-Lautrec menjadikannya model, Pisarro menjelaskan makna Pointillisme, pemilik art shop Tanguy memberikan cat dan kanvas gratis asal dibayar lukisan, berkenalan dengan Degas dan Seurat, serta menjadi akrab dengan Signac, Gauguin, dan Bernard.

Van Gogh yang tidak berpenghasilan, karena lukisannya belum laku, tinggal bersama saudaranya, Theo van Gogh, yang akan menjadi sumber keuangannya sampai mati. Untunglah saudaranya itu, yang bekerja di Goupil Gallery, dan sangat mendukung para pelukis Impressionis, juga mengagumi dan memahami Van Gogh yang masih jauh dari sukses. Celakanya, Vincent van Gogh ternyata memiliki masalah kejiwaan. Orangnya sangat penggugup, dan memang kemudian mengalami depresi. Telah diketahui, sejak masih tinggal di Borinage, Belgia, lukisannya bersuasana sangat kelam. Ia menggambar para petani miskin dengan kehidupannya yang susah, sesuai dengan pendapatnya bahwa seni harus memiliki pesan sosial. Lukisannya, Para Pemakan Kentang yang kegelap-gelapan, sangat mewakili suasana hati Van Gogh yang serba tertekan.

Maka, ketika akhirnya pindah ke Arles pada Februari 1888, Van Gogh bagaikan mengalami pencerahan. Dibandingkan dengan Paris, kota di bagian selatan Prancis yang bermandi matahari itu adalah dunia yang penuh warna. Langit sangat biru, ladang gandum sangat kuning, dan dedaunan sangat hijau, segalanya kontras, seperti menghapus kekelaman dari dunia Van Gogh. Masih tak punya uang, hanya dengan subsidi dari Theo, Van Gogh yang hidup sendirian dengan cara semurah-murahnya dan makan sesedikit-sedikitnya bekerja dengan gila-gilaan. Warna dan pencahayaan yang kuat tersaring ke dalam lukisan-lukisannya, dalam usaha mencari garis yang lebih sederhana, bagi ekspresi yang lebih total, melalui warna, suasana hati, dan perasaan.

Merasa mantap, pada bulan September tahun itu juga ia mengundang teman pelukisnya, Paul Gauguin, yang kelak juga akan sama terkenalnya, untuk datang ke Arles. Ia memiliki gagasan untuk membangun suatu koloni seniman di wilayah selatan Prancis itu. Begitu bersemangatnya ia, sampai pindah sewa rumah untuk menyambut kedatangan Gauguin, disebut Rumah Kuning, yang akan hancur dibom Jerman dalam serbuannya ke Prancis ketika Perang Dunia II.

Namun ternyata keduanya tak cocok. Pesona alam Arles yang menyihir Van Gogh untuk melukis di alam terbuka tak berbunyi bagi Gauguin yang selama ini melukis berdasarkan memori dalam kepalanya sendiri. Disebutkan, pernah terjadi pertengkaran antara mereka berlangsung dalam tingkat ketegangan yang tinggi, sampai Gauguin keluar dari Rumah Kuning, pindah ke hotel; dan malam tanggal 24 Desember itulah Van Gogh mengiris telinga, lantas membawanya ke rumah bordil. Dari sana ia dibawa ke rumah sakit dan terkapar tiga hari tanpa sadar. Itulah "serangan mental" bagi Van Gogh yang pertama.

Peristiwa perginya Gauguin dari Arles, dan kemudian kabar bahwa Theo bertunangan, ternyata memang berpengaruh besar kepada keseimbangan jiwa Van Gogh. Atas kehendaknya sendiri, ia menyerahkan diri ke rumah sakit jiwa di Saint-Remy. Dalam periode ini, ketika jiwanya sedang tenang, ia kembali melukis, di dalam maupun di luar rumah sakit. Kemudian, lukisan-lukisannya ternyata sempat dipamerkan, bahkan sepuluh lukisan yang tergantung di Salon des Independants di Paris, pada Maret 1890, mendapat pujian selangit.

Bulan Mei, ia diperbolehkan menengok Theo yang sudah menikah itu di Paris, lantas di bawah pengawasan Dokter Gachet, dokter jiwa teman pelukis Claude Pisarro, ia tinggal di Auvers-sur-Oise. Namun, sementara semangat melukis segala sesuatu di sekitarnya tetap tinggi, serangan-serangan mental tetap datang jua. Situasi kejiwaan semacam ini disebut-sebut mem-pengaruhi caranya melukis, yakni suatu intensitas kegugupan yang terlihat dari garis dan sapuan kuasnya, yang tampak nyata di mata pemandang lukisannya.

Serangan mental terakhir datang ketika Van Gogh bertengkar justru dengan Dokter Gachet itu. Ia menembak dirinya sendiri pada 27 Juli, dan meninggal dunia dua hari kemudian. Dalam lukisannya yang terakhir, Ladang Gandum dengan Gagak-Gagak, ia tampak seperti telah menggambarkan tempat ia akan bunuh diri, dengan gagak-gagak beterbangan yang mengancam dan jalan kecil di tengah ladang yang menghadang sang pelukis, tetapi tidak menuju ke mana pun. Pada gambar seperti itu, pemandang merasakan emosi dan kualitas ekspresi pelukis, membuatnya mengalami keberadaan tragik Van Gogh, yang tidak mungkin dilakukan pelukis generasi sebelumnya.

Lantas, seperti telah diketahui bersama, ia menjadi begitu masyhur, dengan alasan yang bercampur baur: Apakah karena kedahsyatan lukisannya, ataukah karena riwayat hidupnya yang ajaib.

Lukisan dan ruang

Pengaruh tersebut masih sangat terasa sekarang, seperti disaksikan Intisari di Arles dan Auverssur-Oise itu: Reproduksi lukisannya dipasang sebagai monumen pada tempat ia telah melukis dan memindahkan pemandangan di hadapannya. Maka diandaikan jika seseorang berdiri di depan monumen itu, ia akan juga melihat pemandangan yang disaksikan Van Gogh. Bahkan bisa membandingkannya, seberapa sama dan seberapa berbeda kiranya, lukisan itu dengan pemandangan tersebut pada masa kini.

Adapun yang menarik dari kegiatan ini, agaknya terdapat usaha keras untuk membuat pemandangan di depannya tersebut sama sekali tidak berubah. Dalam seratus tahun lebih, apakah hal itu mungkin? Dalam hal lukisan pemandangan skala kecil, seperti kafe, kebun, taman, kamar, rumah, bahkan yang sebesar gereja, tampaknya bisa dibayangkan bahwa usaha itu memang mungkin. Namun bagaimana dengan pemandangan yang berskala besar, misalnya yang memperlihatkan sungai, jembatan, deretan bangunan, atau ladang-ladang dengan cakrawala luas bagai tak berbatas? Pembenaran apakah kiranya yang membuat suatu perencanaan atas pengembangan lingkungan hidup harus "tunduk" pada gambaran sebuah lukisan, yakni tidak mengembangkannya sama sekali?

Betapapun, pemasangan monumen dengan reproduksi lukisan Van Gogh ini mendorong orang untuk membandingkannya, dan akan merasa tergugah ketika menemukan ketidak-berubahan, tetapi kecewa jika pemandangan di depan lukisan itu berubah, alias tidak sama dengan lukisannya. Mengingat bahwa kesamaan itu tidak alamiah, melainkan usaha manusia untuk "menyama-nyamakan" pemandangan, mulai dari yang hanya satu meter di depan lukisan, sampai ke batas cakrawala (padahal cakrawalanya akan mundur terus), bukankah ini usaha yang membutuhkan kerja sama dan kesepakatan berbagai macam lembaga kekuasaan? Begitu besar usaha demi sebuah lukisan!

Kembali kepada titik temu sejarah dan geografi, poros dimensi vertikal dan horisontal keberadaan manusia, yang pada gilirannya membentuk peruangan sejarah dan produksi sosial ruang, dengan peran kekuasaan, sebagai teori yang sangat abstrak; barangkali boleh kita periksa kebermaknaannya dalam kasus lukisan-lukisan Van Gogh, yang di satu pihak sebagai lukisan telah terwujud berkat keberadaan alam, sebaliknya telah mewujudkan usaha manusia untuk menjaga alam agar tidak berubah, atau berubah tidak terlalu jauh dalam perbandingannya dengan lukisan-lukisan tersebut.

Sejarah kehidupan Van Gogh menjadi sangat berhubungan dengan keberadaan monumen reproduksi lukisan tersebut di tempatnya sekarang; karena setiap lukisan berhubungan dengan situasi kejiwaan tertentu yang sangat dikenal, melalui surat-suratnya yang terus mengalir kepada Theo, dan menjadi faktor penentu legenda tragis kehidupannya, sehingga momen-momen tertentu melatar belakangi lukisan-lukisannya.

Ini hanya terwujud melalui kuasa dalam wacana suatu kebudayaan, yang memberi penghargaan tinggi kepada seseorang yang telah memberikan setiap detik dari hidupnya, untuk suatu kerja keras melahirkan karya, sampai menjadi gila…. Entahlah, apakah ini bisa disebut strategi besar geopolitik kepada taktik kecil dari habitat, tetapi persing-gungan sejarah manusia dan keberadaan alam itu sudah berlangsung dalam kasus lukisan-lukisan Van Gogh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar